Kab.Tangerang

Iwan Hartono Minta Keadilan, Kompolnas Hukum Harus Tegak Lurus Jangan Ada Bekingan dari Kepolisian

JAKARTA —– Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengaku prihatin karena masih ada anggota kepolisian yang kedapatan menjadi bekingan para pelaku kejahatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Hal ini tidak bisa di toleransi dalam kepolisian, sebab hukum harus tegak lurus bukan untuk membela pengusaha (yang punya uang). Hal ini langsung diungkapkan oleh anggota Kompolnas Poengky Indriati. Menanggapi tentang masih ada oknum polisi yang membekingi orang yang bersalah

Untuk itu, Kompolnas menegaskan tidak ada ampun untuk polisi yang membekingi pelaku yang bersalah/memberikan laporan palsu.

Ia berharap agar hukum benar benar dijalani, bukan tumpul diatas karena punya hubungan kerabat, sahabat atau karena balas Budi. Untuk dalam kasus yang dialami Iwan Hartono harus berjalan tegak lurus, ” kalau bersalah katakan bersalah, kalau benar, katakan benar,” ungkapnya.

Dalam kasus Iwan Hartono meski laporan sudah dinyatakan P19 di tolak kejaksaan. Namun pria yang kalem ini masih di tersangkakan. Hingga saat ini masih bertarung untuk mendapatkan keadilan pada dirinya, di Kriminal Khusus (krimsus) Polda Metro Jaya.

Padahal menurut Iwan Hartono dirinya, sangat binggung bisa dijadikan tersangka atas laporan penggunaan HAKI yang dilaporkan Muhidin Burhan pelapor padahal surat atas nama Edi Sutrisno dan merasa dikriminalisasi dalam kasus yang dilaporkan yang jelas jelas bukti sudah saya lampirkan dan malah pelapor dipermainkan oleh penyidik.

Bahkan pelapor membuat 2 laporan Padahal yang dilaporkan tidak cukup bukti dari pelapor Hanya dengan kata lisan, cek tidak ada nama perusahaan dan stempel dan harga tidak tertera dalam bon yang dijadikan alat bukti dan ini penyidik sudah mengetahui.

“Tapi, hingga sekarang saya masih status tersangka, kalau kita hitung tersangka saya sudah berjalan 60 hari hingga hari ini,” tegasnya.

 

Yang membuat binggung saat kasus ini sudah dilaporkan ke kompolnas dan propam oleh pengacara Iwan Hartono, maka di buat lagi jurus baru dengan melibatkan pabrik Helm, dengan memberikan surat panggilan untuk penyidikan pencarian bukti.

“Saya tidak pernah dilibatkan dengan pabrik, hanya berkomunikasi dengan sales pabrik helm dan yang membuat helm adalah pabrik takira punya pak arno dan saya bukan pabrik. Jadi saya tidak tahu terkait pabrik, dan yang lebih aneh surat merek bivi itu masih atas nama edi sutrisno di tahun 2024 pada saat helm itu dibuat dan baru diganti pelapor tahun 2025 bahkan SNI pun semua masih atas nama PD star helmet dan bukan punya pelapor dan harusnya dengan bukti surat ini laporan pelapor sudah bisa ditutup karena ga sesuai Undang-Undang hukum” papar Iwan Hartono dengan wajah bingung.

Muhidin Burhan pelapor menurut Iwan Hartono hanya ingin mendapatkan keuntungan besar dalam kasus yang dilaporkannya ini, karena bila ditelusuri utang berkisar 300 juta, namun Muhidin Burhan menuntut 2.5 miliar

” Ini harga yang fantastis, dari jumlah kekurangan hasil penjualan helm, bahkan helm masih ada dirumah tidak dipasarkan lagi  senilai ratusan juta,” pungkas Iwan Hartono.

Kasus ini seharusnya sudah tidak berjalan, apabila tidak ada yang membekingi, di duga yang membekingi Muhidin Burhan oleh orang berpangkat AKBP Netty Siagian. Dengan adanya ibu AKBP tersebut, membuat kasus berjalan di tempat dan yang membuat kini mulai berjalan, karena media sudah mulai memberitakan dan saudara meminta bantuan pihak Kompolnas dan propam untuk segera menyelidiki dan menindaklanjuti oknum2 siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.

“Saya minta dan memohon keadilan hukum bagi saya, semua saya serahkan ke pengacara yang sudah saya tunjuk,” tandasnya

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal utama yang sering digunakan untuk menjerat tindakan ini adalah Pasal 221 KUHP, yang berbunyi.

Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan umum.

Barang siapa dengan sengaja menutupi, menghalang-halangi, atau mempersukar penyidikan atau penuntutan kejahatan.

Ancaman hukuman untuk pelanggaran Pasal 221 KUHP adalah pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (angka denda ini biasanya disesuaikan dengan nilai mata uang saat ini).

(Tim)