Perjuangan Fuspita Sari Lawan Developer: Sertifikat Rumah Diduga Cacat Hukum, Gugatan Capai Rp8,1 Miliar
Tangerang |wartaindonesiaterkini.com— Sengketa hukum antara konsumen dan pengembang properti kembali mencuat di Pengadilan Negeri Tangerang. Seorang warga, Fuspita Sari, resmi melayangkan gugatan senilai Rp8,12 miliar terhadap PT Putra Asih Laksana dan Flora Jieprang dalam perkara Nomor 947/Pdt.G/2025/PN.TNG. Gugatan ini diajukan melalui kuasa hukumnya, Ferri Chandra, S.H., yang menegaskan bahwa perkara tersebut tidak hanya berlandaskan wanprestasi, tetapi juga Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjadikan perjanjian jual beli batal demi hukum.
“Pengembang telah menjual unit rumah di atas tanah yang tercemar tindak pidana gratifikasi sebagaimana terbukti dalam Putusan Pengadilan Tipikor Serang Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2023/PN Srg. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum dan kesusilaan,” ujar Ferri Chandra di Tangerang. Ia menambahkan, gugatan ini diajukan untuk menegakkan prinsip keadilan dan tanggung jawab hukum korporasi yang dianggap telah bertindak dengan itikad buruk.
Fuspita Sari diketahui membeli rumah melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 0491/PPJB/BEN01/INH/RT/08/2020 tanggal 29 Agustus 2020, dengan nilai Rp253,57 juta. Ia telah melunasi pembayaran sejak Desember 2021 dan menerima kunci rumah pada Maret 2022.
Namun hingga kini, sertifikat hak atas tanah belum diterbitkan atas namanya. Sejak 2023, alasan penundaan yang diberikan pihak pengembang kerap berubah-ubah, mulai dari klaim tanah melewati dua hingga tiga HGB induk, hingga pengakuan bahwa lahan tempat rumah tersebut berdiri ternyata belum bersertifikat. Kondisi ini disebut sebagai bentuk nyata itikad tidak baik (mala fide) dari pihak developer.
Dalam gugatan yang diajukan, Fuspita mengaitkan akar permasalahan dengan putusan Pengadilan Tipikor Serang yang membuktikan adanya gratifikasi senilai Rp18,14 miliar kepada eks Kepala BPN Lebak untuk memuluskan penerbitan sejumlah sertifikat, termasuk milik PT Putra Asih Laksana.
Ia menilai praktik tersebut menyebabkan alas hak tanah memiliki sebab yang terlarang (causa ongeoorloofd) sesuai Pasal 1337 KUH Perdata, sehingga PPJB yang menjadi dasar transaksi harus dinyatakan batal demi hukum. Selain itu, tanggung jawab pribadi direksi juga dituntut berdasarkan Pasal 97 ayat (3) dan (5) UU Perseroan Terbatas, karena dianggap bertindak dengan itikad buruk dalam menjalankan kewenangan perusahaan.
Kuasa hukum Fuspita mengajukan 34 alat bukti surat (P-1 s.d. P-34), di antaranya Putusan Tipikor Serang (P-13) sebagai bukti utama causa terlarang, PPJB dan Kwitansi Pelunasan (P-4 dan P-5), serta transkrip komunikasi dengan pihak legal pengembang (P-9 dan P-10) yang menunjukkan pengetahuan pihak tergugat atas cacat alas hak tersebut.
“Bukti-bukti ini membentuk rantai kausalitas yang jelas, tidak ada yang bersifat asumtif. Semua berbasis dokumen resmi,” kata Ferri.
Fuspita mencatat kerugian mencapai Rp8,12 miliar, terdiri dari kerugian materiil sebesar Rp531,6 juta meliputi biaya rumah, bunga bank, IPL, air, dan transportasi serta kerugian immateriil sebesar Rp7,59 miliar akibat penderitaan batin dan hilangnya kepastian hukum. Selain itu, Penggugat juga menuntut denda kontraktual sebesar Rp277 juta atas keterlambatan penerbitan sertifikat, uang paksa (dwangsom) Rp1 juta per hari jika putusan tidak dijalankan, dan sita jaminan (conservatoir beslag) atas aset tergugat.
Fuspita menegaskan, perkara ini bukan sekadar gugatan perdata, melainkan ujian etika bagi dunia hukum. “Ini adalah pertarungan moral. Kami ingin melihat apakah hukum benar-benar berpihak kepada rakyat kecil ketika korporasi besar bermain di atas dasar hukum yang cacat,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis. Kuasa hukumnya berharap, putusan majelis hakim nantinya dapat menjadi preseden penting bagi perlindungan konsumen properti di Indonesia. “Kami menuntut keadilan, bukan hanya untuk Fuspita, tetapi juga untuk konsumen lain agar dunia properti tidak lagi menindas rakyat kecil,” pungkas Ferri.
Saat ini, perkara Fuspita Sari melawan PT Putra Asih Laksana dan Flora Jieprang masih bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang dan telah memasuki tahap akhir pembuktian. Hasil putusan perkara ini diyakini akan menjadi sorotan publik dan berpotensi menjadi pijakan penting bagi perlindungan hukum konsumen di sektor properti nasional.
Perkara ini bukan sekadar sengketa perdata biasa, melainkan menyentuh ranah yang lebih mendasar yaitu Hak Asasi Konstitusional Penggugat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengabaian terhadap janji, ketidakjelasan penerbitan sertifikat, serta alasan berulang-ulang yang disampaikan Para Tergugat merupakan bentuk nyata dari pelanggaran terhadap martabat konsumen. Tindakan demikian bukan hanya menciderai rasa keadilan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya tanggung jawab moral dan etika dalam hubungan hukum antara pengembang dan masyarakat sebagai konsumen.
Dalam konteks ini, Majelis Hakim yang Mulia, berdasarkan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, memikul tanggung jawab konstitusional untuk melindungi hak dasar Penggugat dari praktik Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh korporasi beritikad buruk. Tindakan hukum ini tidak hanya menjadi upaya mencari keadilan personal, tetapi juga sebagai penegasan terhadap asas moral, etika bisnis, dan konstitusi yang wajib ditegakkan demi menjamin marwah hukum dan kemanusiaan.( Firnus )

